Senin, 20 Februari 2017

Dua Dunia Avera Bag. 2



Avera masih menahan nafas. Sesaat, ia berusaha melawan segala rasa takut dan merinding yang ia miliki. Takut membuka mata, ia hanya berani menunduk.

"Avera, kau sudah lupa siapa aku?" Suara pria mulai berbicara.

"Aku tak mengenalimu. Ini semua gila... Jangan kejar aku lagi. Jangan datangi malamku lagi. Sudah cukup sampai di sini."

"Buka matamu. Seseram itukah aku, Avera? Kita sudah hidup bersama bertahun - tahun lamanya dan kaulupakan aku."

"Kau mengerikan."

Pria itu terdiam. Ia menatap Avera dengan pandangan lesu. Ia tahu ia senang memiliki waktu seperti itu lagi dengan Avera. Tapi, seakan harapannya sia - sia saja.

"Maafkan aku membuatmu takut."

"Siapa kau sebenarnya?"

"Kita sudah menikah bertahun - tahun lamanya dan kaulupakan aku. Para Dewa menghukum aku. Mereka menghukum aku dengan hukuman yang lebih parah dari kematianku."
Avera terdiam. Ia tambah bingung. Dalam hatinya, ia berkata kalau ini cuma mimpi. Setelah bangun, tidak akan ada lagi. Cuma mimpi, dan itu tidak nyata adanya.

Ia pun mengangkat wajahnya berhadapan dengan bayangan pengejar itu. Ia perlahan membuka matanya. Ia melihat sesosok yang sama seperti manusia lainnya. Yang membedakan hanyalah sepasang matanya yang berwarna ungu dan tubuh yang termasuk tinggi dibanding orang biasa. Ia mungkin sudah mencapai tinggi 2 meter. Ia tampan. Rambutnya berwarna biru. Tidak ada keriput sama sekali.

Nafas Avera tercekat. Seakan ada bayangan yang berusaha masuk ke otaknya namun ia tidak bisa ingat. Ia merasa pernah mengenali wajah itu. Hanya saja, ia lupa bagaimana.

"Siapa namamu?"

"Aku Sadroz." Jawab pria itu dengan pandangan memelas.

Ia sudah cukup menderita karena pertemuan yang sudah ia perjuangkan dan tidak membuahkan malah memberikan fakta pahit. Sang Istri tidak mengenalinya dan malah ketakutan menghadapinya. Ia kehilangan tatapan mata masih satang Avera yang dulu ia biasa terima dalam kesehariannya. Yang ia lihat saat ini hanyalah tatapan asing.

"Sadroz, aku... Aku bertunangan."

Avera gugup dan ia menunjukkan cincin pertunangannya. Lagipula, ia tidak merasa ini wajar. Ini masih cuma mimpi untuk Avera. Tapi, apakah benar itu cuma mimpi? Sesaat Avera mempertanyakan itu, sesaat nafasnya yang tercekat membuat ia ingin menghabiskan waktu dengan Sadroz. Hanya saja, ia tidak mengerti kenapa. Sadroz memang jauh lebih tampan dari Roy. Tapi, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Sadroz sendiri hanya terdiam dalam luka hatinya. Ia tidak berani bicara. Hanya bisa memandang Avera dengan lesu.

"Hukuman ini... Dewata, ambillah jiwaku. Aku tak mau hidup lagi." Kata Sadroz waktu itu dalam keputusasaan.

Avera terdiam. Ia merasa dirinya pun tanpa daya. Semua tampak nyata saat itu. Ia belum terbangun. Namun, rasa simpatinya terhadap Sadroz membuat ia mengeluarkan kata - kata yang mungkin ia akan sesalkan.

"Jika aku memang istrimu, jangan mudah menyerah mendapatkan aku kembali." Kata Avera.
Sadroz terdiam. Ia menatap Avera. Cahaya itu muncul kembali di matanya. Seberkas cahaya harapan. Ia tampak bahagia dan lega.

Avera pun sadar akan kata - katanya. Ia mulai bertanya bagaimana jika itu bukan mimpi.

Segalanya akan kacau dan gila. Tapi, ia tidak dapat melawan perasaannya saat itu. Ia tidak menyesal mengatakan itu. Ia sendiri juga tidak tahu apakah ucapannya karena rasa simpati atau...

Avera pun menghentikan pikirannya sendiri saat itu. Ia tidak ingin berpikiran terlalu jauh.
"Aku harus pergi." Kata Avera menatap lubang cahaya yang sekali membangunkan dia.
Sadroz hanya mengangguk.
"Kutemui kau lagi. Nanti..." Kata Sadroz. "Aku akan berjuang mengembalikan cinta kita dan ingatanmu. Maaf."

Avera tersenyum pahit. Hatinya terluka. Jika benar pria itu adalah suaminya, bagaimana dengan Roy? Ia tak mau membagi cinta. Luka lama ketika Roy sempat menduakan dirinya muncul kembali. Sebelum itu, ia sudah lupa. Dan kesadaran Avera akan masa lalu yang hilang darinya pun muncul.

Ia terdiam dan mengangguk. Air matanya menetes perlahan tanpa sebab jelas. Yang ia tahu, ia Ingin menangis. Masa lalu hilang berarti ada yang tidak beres. Ia baru menyadarinya saat itu. Ia hanya bisa berpikir "Apa boleh buat."

Ia terbangun tanpa rasa takut yang biasa ia alami. Ia ingat jelas semua yang terjadi di mimpinya. Ia hanya menarik nafas dalam.
"Cuma mimpi, kan? Kenapa begini?"


Bersambung.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar